Bismillahirahmanirahim, Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh...Alhamdulillah syukur kita ke hadrat Illahi kerana dengan izin dan limpah kurniaanNya dapat kita merasai nikmat dan anugerah yang paling besar iaitu nikmat Islam dan Iman. Dalam menempuhi hari-hari yang mendatang pelbagai cubaan dan dugaan yang dizahirkan dalam proses memantapkan perjalanan seorang hamba dalam menjalankan tugas dan amanah yang diserahkan pada setiap anak adam sebelum lahirnya ke dunia. Tidak lain dan tidak bukan hanyalah taat dan patuh pada perintah Nya serta buat apa yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang olehNya.
Dengan lafaz bismillahirahmanirahim hamba memulakan suatu coretan yang tak bisa hamba fikirkan hanyalah gerak ilham kuniaan Mu wahai Rabbul Alamin, semoga tiada unsur yahudi dan nasrani dalam coretan hamba mu ini. Cinta, rindu dan kasih-sayang menjadi suatu sumber aspirasi ku pada penulisan kali ini. Apabila menyentuh berkaitan dengan perkara ini pasti terlintas difikiran kita berkenaan dengan cinta, rindu dan kasih sayang antara seorang lelaki dan perempuan, si suami dan si isteri, si anak kepada kedua ibu bapanya, begitulah sebaliknya kedua ibu bapa pada anak-anak mereka. Akan tetapi apa yang ingin hamba bicarakan kali ini adalah berkenaan dengan cintanya seorang hamba pada tuannya. Cinta, rindu dan kasih sayang seorang hamba pada tuhannya.
Cinta, rindu dan kasih sayang seorang hamba pada Tuhannya sukar untuk dihuraikan kerana perkara ini melibatkan suatu perasaan yang sukar untuk diluahkan dengan kata-kata kecuali seseorang itu melaluinya. Untuk melaluinya pula seseorang itu perlu dibimbing oleh mereka yang arif dalam perkara ini. Untuk mencari mereka yang arif dalam bidang ini juga adalah dengan rahmatnya jua. Hanya hamba-hamba yang benar-benar berusaha untuk mengenalinya sahaja akan dibuka jalan untuk mencintainya sepenuh jiwa dan raga.
Allah SWT berfirman :
. . . يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ . . .
Ertinya :
" . . . yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah . . . "(Al Maa'idah : 54)
Juga terlihat dalam firman berikut :
. . . وَالَّذِيْنَ آمَنُوْاَشَدُّحُبًّالِلَّهِ . . .
Ertinya :
" . . . adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya terhadap Allah . . . "
(Al Baqarah : 165)
Firman tersebut merupakan sebuah dalil terhadap tetapnya rasa cinta dan bertingkatnya rasa tersebut. Rasulullah Muhammad SAW telah menjadikan mahabbah terhadap Allah SWT sebagai sebuah syarat iman dalam berbagai hadis. Diceritakan :
اِذْقَالَ اَبُوْرَزِّيْنَ الْعُقَيْلِى: يَارَسُوْلَ اللَّهِ: مَاالاِْيْمَانُ؟
قَالَ: اَنْ يَكُوْنَ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ اَحَبَّ اِلَيْكَ مِمَّا سِوَا هُمَا
Ertinya :
" Ketika Abu Rozin al 'Uqayli(1) bertanya : "Wahai Rosululloh, apakah iman itu?", Rasulullah SAW menjawab : "Jika Allah dan RasulNya lebih engkau cintai ketimbang selain keduanya."" (HR. Ahmad dengan tambahan di awalnya (Al Iraqi)
Sementara dalam hadis lain disebutkan :
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ اَحَبُّ اِلَيْهِ مِمَّاسِوَاهُمَا
Ertinya :
"Belumlah beriman salah seorang dari kalian, sampai Allah SWT dan rasulNya lebih dia cintai ketimbang selain keduanya". (HR. Bukhori dan Muslim (Al Iraqi))
dalam hadits yang lain dikatakan :
لاَيُؤْمِنُ الْعَبْدُ حتَّى اَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ اَهْلِهِ وَمَالِهِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ
Artinya :
"Belumlah beriman seorang hamba, sampai dia lebih cinta kepadaNya ketimbang keluarganya, hartanya dan semua manusia". Dalam sebuah riwayat : " . . . dan ketimbang dirinya sendiri".(HR. Bukhori dan Muslim (Al Iraqi))
Bagaimana tidak? Sementara Allah SWT telah berfirman :
قُلْ اِنْ كَانَءَابَآؤُكُمْ وَاَبْنَآؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوْهَاوَتِجَارَةٌتَخْشَوْنَ كَسَادَهَاوَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَآاَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍفِى سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوْاحَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِاَمْرِهِ وَاللَّهُ لاَيَهْدِالْقَوْمَ
الْفَاسِقِيْنَ
Ertinya :
"Katakanlah : "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan- Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik". (At Taubah : 24)
Dan semestinyalah semua itu akan berlaku dalam menghadapi penentangan dan pengingkaran. Rasulullah SAW telah memerintahkan cinta itu dalam sabdanya :
اَحِبُّ اللَّهَ لِمَايَعْبُدُوْكُمْ بِهِ مِنْ نِعَمِهِ وَاَحِبُّوْنِى لِحُبِّ اللَّهِ اِيَّايَ
Artinya :
"Cintalah kalian semua terhadap Allah SWT, terhadap apa yang kalian makan pagi ini dari berbagai kenikmatanNya. Dan cintalah kalian kepadaku, karena cinta Allah terhadapku." (HR. Tirmidzi berkata : "Hasan ghorib" (Al Iraqi))
Diriwayatkan :
اَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَارَسُوْلَ اللَّهِ اِنِّى اُحِبُّكَ فَقَالَ : اِسْتَفِدَّ لِلْفَقْرِ
فَقَالَ : اِنِّى اُحِبُ اللَّهَ تَعَالَى فَقَالَ : اِسْتَفِدَّ لِلْبَلاَءِ
Artinya :
"Sesungguhnya seorang lelaki berkata : "Wahai rasulullah, sesungguhnya aku mencintaimu." Maka beliau SAW bersabda : "Bersiap-siaplah untuk miskin." Kemudian dia berkata : "Sesungguhnya aku mencintai Allah SWT." Maka beliau bersabda : "Bersiaplah untuk suatu cubaan."" (HR. Tirmidzi berkata : "Hasan ghorib" (Al Iraqi))
وَجَاءَ اَعْرَابِىٌّ اِلَى النَّبِى فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللَّهِ مَتَى السَاعَةُ قَالَ : مَااعَدَّدْتَ لَهَا
فَقَالَ : مَااَعَدَّدْتُ لَهَاكَثِيْرَصَلاَةٍوَلاَصِيَامٍ اِلاَّاَنِّى اَحَبُّ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ
فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللَّهِ : اَلْمَرْءُمَعَ مَنْ اَحَبَّ
Artinya :
"Seorang bangsa Arab Badui datang kepada Rasulullah SAW, kemudian dia bertanya : "Wahai Rasulullah, bilakah hari kiamat itu?" Maka beliau SAW balik bertanya : "Apakah persiapanmu untuknya?" Dia menjawab : "Aku tidak bersiap untuknya dengan banyak sholat dan tidak pula puasa, hanya saja aku mencintai Allah dan rasulNya." Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya : "Seseorang bersama dengan sesiapa yang dicintai."" (HR. Bukhori dan Muslim (Al Iraqi))
Sahabat Anas RA berkata : "Aku tidak melihat kaum muslimin bergembira dengan sesuatu, seperti kegembiraan mereka dengan hal itu." Abu Bakr RA berkata : "Barang siapa mencicipi kemurnian cinta Alloh SWT, maka hal itu akan menjadikannya berpaling dari memburu dunia dan hal itu akan menjadikannya gelisah dari semua manusia." Berkata Hasan Al Bashri : "Barang siapa mengenal Tuhannya, dia akan mencintaiNya. Dan barang siapa mengenal dunia, maka dia akan berzuhud di dalamnya. Sementara seorang yang beriman adalah mereka yang tidak bermain-main sampai terlupa, sehingga ketika dia berpikir dia telah bersedih."
(Sumber dalil daripada laman: http://www.kaskus.us/showthread.php?p=218043241)
Begitulah saudaraku untuk mencintai Rasul maka bersiap sedialah untuk miskin, maksudnya jalan seorang hamba itu adalah miskin dan hina. Kerana apabila seorang hamba itu mencintai Rasul dan Allah, segala yang didepan mata tidak lagi dipandangnya. Kita boleh merenungi kisah para sahabat Rasulullah ketika panggilan jihad untuk peperangan Tabuk;
Namun, tidak kurang juga hebatnya sokongan dari para sahabat-sahabat dan orang mukmin yang benar-benar telah beriman kpd Allah dan Rasul. Bapa Zaid b. Aslam dan Saidina Umar menghadiahkan separuh daripada harta mereka…bahkan Saidina Abu Bakar menginfakkan keseluruh hartanya…apabila ditanya oleh Rasulullah, “Apakah harta yg kamu tinggalkan untuk anak-anak dan isterimu?”, jawabnya “yang tinggal hanyalah Allah dan Rasul”.
Apabila kita meletakkan cinta kita pada Allah dan Rasul, dalam diri tiada lagi cinta pada dunia dan tiada lagi rasa khuwatir pada harta, pada keluarga dan sebagainya.
Kita juga boleh merenungi kisah sahabat-sahabat Rasulullah pada perang Tabuk tersebut, antaranya kisah Ka'ab bin Malik;
“Aku sama sekali tidak pernah gagal mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali dalam perang Tabuk, sebab aku tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu adalah karena kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia. Ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya.
Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan unta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya. Sungguh, tidak pernah Rasullah SAW merencanakan suatu peperangan melainkan beliau merahsiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini.
Peperangan ini, Rasulullah SAW lakukan dalam kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh.
Jadi, rencananya jelas sekali bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing
menuju suatu perjalanan dan peperangan yang jelas pula.
Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati,
“Aku bisa melakukannya kalau aku mau!”
Akhirnya, aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah.
Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka timbul pikiranku untuk mengejar mereka, alang-alang mereka belum jauh.
Namun, aku tidak melakukannya, kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.
Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut serta. Akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah.
Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan keterasingan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya.
Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau izinAllah Ta’ala untuk uzur
atau kalau tidak demikian maka mereka adalah orang-orang munafik.
Padahal, aku merasakan bahawa diriku tidak termasuk keduanya. Konon, Rasulullah saw tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk. Setibanya di sana, ketika beliau sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang dari Bani Salamah menjawab,
“Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!”
Mu’az bin Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu!
Demi Allah, ya Rasulullah,aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”
Rasulullah saw. hanya terdiam saja.
Beberapa waktu telah berlalu, aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada dalam pikiranku berbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw, bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku yang terkenal berpikiran baik.
Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw, segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu.
Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali.
Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw, dan mengatakan yang sebenarnya.
Pagi-pagi, Rasulullah saw. memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali dari suatu perjalanan, pertama beliau akan masuk ke masjid dan solat dua rakaat.
Demikian pula usai dari Tabuk, selesai solat beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya.
Lantas, datanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diselangi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka.
Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang.
Rasulullah saw. menerima alasan lahir mereka dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka.
Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah.
Tibalah giliranku, aku datang mengucapkan salam kepada beliau.
Beliau membalas dengan senyuman pula, namun jelas terlihat bahwa senyuman beliau memendam rasa marah.
Beliau kemudian berkata,
“Kemarilah!”
Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Beliau tiba-tiba bertanya,
“Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab,“Ya Rasulullah!Demi Allah, Kalau di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku".
"Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil dibanding tatkala aku tidak mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”
Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata kepada ku, “Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah saw. untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat. Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang soleh yang pernah ikut dalam perang Badar dan yang patut diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.
Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami memencilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya.
Kedua rakanku itu berdiam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka.
Aku keluar untuk solat jamaah dan kaluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku.
Aku juga datang ke majilis Rasullah saw. sesudah beliau solat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sambil hati kecilku bertanya-tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga solat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau.
Kalau aku bangkit mau solat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya,
ia palingkan mukanya cepat-cepat.
Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali.
Pada suatu hari, aku mengetuk pintu pagar Abu Qaradah, saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurya,
“Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ia diam.
Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahan lagi.
Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah. Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam.
Orang itu biasanya mengantarkan dagangan ke kota Madinah. Ia bertanya, “Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepadaku, lalu orang itu datang kepadaku, dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dari raja Ghassan.
Setelah kubuka, isinya sebagai berikut, “… Selain dari itu, bahawa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kami akan menghiburmu!”
Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!”Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampung halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw. menyampaikan pesannya,
“Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi isterimu!”
Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya kepada dua sahabatku yang bernasib sama.
Aku langsung memerintahkan kepada isteriku, “Pergilah kau kepada keluargamu
sampai Allah memutuskan hukumnya kepada kita!”
Isteri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah,
sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu. Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Isteri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi.
Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang ahli keluargaku yang juga mengusulkan, “Cuba minta izin kepada Rasulullah
supaya isterimu melayai dirimu seperti halnya isteri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw.
tentang isteriku. Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam
sejak orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam.
Pada waktu sedang solat subuh di suatu pagi dari malam yang ke-50, ketika aku sedang duduk berdzikir meminta ampun dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini. Tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang memanggil namaku.
‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!
Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Mendengar berita itu aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah.
Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.
Rasulullah menyampaikan berita itu kepada sahabat-sahabatnya seusai solat subuh bahawa
Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku.
Berlomba-lombalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita germbira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda.
Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki.
Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu. Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah. Ternyata aku telah disambut banyak orang dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku.
Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thal’ah.
Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah dan gembira, katanya kemudian,
“Bergembiralah kau atas hari ini! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?” tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(At-Taubah:118)
Terhenti seketika setelah membaca kisah Ka'ab Bin Malik, sebak rasanya dada apabila mendengar kisahnya dipulau oleh masyarakat mukmin pada ketika itu. Rasa cinta, rindu dan kasih sayang Ka'ab Bin Malik pada Allah dan Rasul mengatasi segalanya. Hinggakan pada saat akhir beliau ingin bertemu dengan rasulullah, beliau terpaksa meminjam pakaian dari sahabat yang lain kerana habis semua hartanya disedekahkan bagi menyatakan taatnya itu sampaikan harta terakhirnya 2 pasang pakaian disedekahkan kepada 2 orang sahabat yang menyampaikan berita gembira tersebut. Sukar untuk menyatakan rasa cinta, rindu dan kasih sayang tanpa ada pengorbanan.
Jika hendak diukur rasa cinta para sahabat Rasulullah berbanding dengan kita hari ini pada Allah dan Rasul, bagaikan jauh panggang dari api, kerana begitu jauh sekali rasa kehambaan kita pada Allah dan Rasul. Masih ada lagi cinta akan dunia, anak-isteri, pekerjaan dan sebagainya dalam diri kita. Kalau kita renung akan kisah sahabat Rasulullah saw, iaitu Ka'ab Bin Malik r.a, bagaimana beliau mendapat perintah supaya dipisahkan dari masyarakat, keluarga dan paling rapat adalah isteri dalam menyatakan cinta pada Allah dan Rasul ini. Begitu taatnya para sahabat pada perintah Allah dan Rasul.
Sekian dahulu coretan untuk kali ini, semoga kita mendapat sedikit iktibar daripada kisah tersebut dan banyakkan muhasabah diri, semoga dibukakan hati untuk lebih mencintai Allah dan Rasul.
Wabillahi Taufik wal Hidayah, wassalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.
Wassalam.
1 ulasan:
Subhanallah...Maha Suci Allah...
Catat Ulasan